Menjadi Dosen Muda

Tidak dulu terpikirkan sejak bangku sekolah dulu menjadi seorang dosen merupakan profesi yang penuh bersama keberkahan. Tidak dulu terhitung membayangkan di awalnya profesi dosen inilah yang terhitung membentuk kepribadian dan kebahagiaan yang saya rasakan pas ini. Mata hati dan raga semakin terpana dikala meniti profesi ini bersama senang cita dan kerja keras yang nyata siakad unsurya.

Terlalu sempit rasanya menilai sebuah profesi berasal dari faktor penghasilan semata, penghasilan materi itu sifatnya abstrak dan relatif dimanapun kami bekerja. Tidak ada tolak ukur tentu bahwa nominal gaji besar bakal jaminan kebahagiaan hakiki seseorang. Pernah suatu hari seorang senior berkata, “berjuang bersama sungguh2 dan memaknai pekerjaan sebagai dosen bersama sebaik-baiknya tidak bakal memicu kami miskin”. Makna “miskin” di sini sudah pasti tidak melulu mengenai duwit (penghasilan) semata, saya percaya semakin banyak kami sharing dan berdedikasi bersama keikhlasan maka berkah duniapun bakal setia datang mencukupkan kebutuhan duniawi. Saya merasakan itu.

Setelah hampir 8 th. saya berkarya menjadi dosen, terhadap selanjutnya saya dapat memaknai apa yang dimaksud bersama senior saya mengenai makna sebenar-benarnya berasal dari yang dimaksud “tidak miskin”. Benar sekali adanya, profesi dosen memicu kami bakal “kaya” bakal banyak hal. Mapan didalam penghasilan hanyalah beberapa kecil berasal dari berkah mulia lainnya.

Selain faktor penghasilan, ada kenaikan derajat dan status sosial sebagai dosen (You’ll get first level of respect by being a lecturer) tanpa mesti diminta. Punya banyak relasi dan koneksi bersama beraneka macam stakeholder seperti pemerintah dan swasta berasal dari didalam ataupun luar negeri. Bisa kenal dan menjalin silahturahmi tanpa batas bersama puluhan ribu mahasiswa/i yang dulu mendapat siraman Ilmu berasal dari kami sebagai dosen. Mendapat peluang berkarya didalam pemenuhan pengajaran, penelitian dan pengabdian penduduk secara berkala benar-benar mendewasakan diri sebagai dosen yang mesti terus bertumbuh dan berasumsi terbuka.

Dosen yang mulia, tidak pelit dan perhitungan didalam sharing Ilmu. Ia tidak memperlakukan ilmu semestinya barang yang dapat dijual belikan, melainkan menjadikan ilmu sebagai ladang ibadah dan kontribusi nyata sebagai pendidik yang berintegritas.

Banyak orang punyai perspektif sempit mengenai profesi dosen, banyak terhitung dosen yang berasumsi profesi ini sebagai profesi numpang lewat, apalagi untuk “keren-kerenan” semata. Padahal melalui profesi ini dapat datang segudang peluang dikehidupan kita. Sebut saja menjadi ada peluang untuk menjadi pembicara, juri penentuan kontes, ikut workship/pelatihan gratis, bepergian/melancong muncul negeri, jaringan pertemanan yang semakin luas, peluang untuk mengenal banyak sifat manusia sebagai ajang pembelajaran, melakukan tindakan sebagai edupreneur, senang batin dan lahir gara-gara banyaknya energi positif disekelilingnya dan tetap banyak peluang baik lainnya.

Menjadi dosen tidak hanya berkata kuantitas (jabatan, peringkat, background lulusan dan penguasaan ilmu) semata namun lebih menekankan faktor kualitas. Dosen yang amanah bakal mengajar bersama persiapan yang baik, tidak hanya mengandalkan materi yang sudah usang apalagi tidak cocok bersama pertumbuhan zaman.

Perlu dipahami bersama perubahan sifat mahasiswa yang berasal berasal dari generasi millenial, dosen mesti lebih mendepankan pendekatan student-centered learning. Karakter serba instan dan cepat terlalu mungkin mahasiswa “made in google” yang dapat lebih informatif berasal dari dosennya mengenai Info dan beraneka hal. Tapi jangan hingga dosen “ketinggalan zaman” hanya gara-gara malas dan juga enggan untuk “upgrade diri”. Mempersiapkan diri secara optimal artinya menghargai profesi yang dijalani dan menghargai para mahasiswa/i yang kelak bakal menjadi individu sukses kelak. Ingatan mahasiswa bakal dosennya bakal dikenal selama hidupnya, pastikan rekam jejak menjadi seorang dosen dapat menjadi “kenangan indah” , bukan malah menjadi “mimpi buruk” bagi mereka.
Mereka seakan tidak memahami bahwa seberapa besar pengaruh mereka terhadap kehidupan mahasiswa/i yang dididiknya. Dosen yang tadinya dilihat sebagai teladan (role model) bakal dicap gagal atau apalagi mendapat predikat “dosen abal-abal” kecuali tidak sukses didalam memberikan gagasan dan transformasi diri anak didiknya.

Mendidik yang baik sepantasnya mesti dibarengi bersama hati nurani, tidak hanya mendewakan kompetensi duniawi. Perlu disadari terhitung bahwa tanggung jawab moral seorang dosen sebagai pendidik ada diranah Ilahi bukan hanya memberi pencerahan teknis mahasiwa/inya. Sehingga mesti direnungkan, Ilmu yang disampaikan bersama hati nurani dan disertai langkah penyampaian yang baik bakal menjadi kebaikan mulia yang berlipat dampaknya bagi diri seorang dosen.
Sementara Ilmu bersama penyampaian seadanya hanya bakal membuahkan mahasiswa/i robot bersama karakteristik “referal thinker“, pola pikir dan intelegensia yang berbasis terhadap teks referensi yang sudah ada, tidak ada ruang “improvement” disana. Ruang berpikir, energi kreativitas dan imajinasi otak kanan bakal kerdil gara-gara stimulus yang diberikan oleh dosen tidak maksimal.

Ujung2nya yang disalahkan adalah mahasiswa/i, padahal “response” berbanding lurus bersama “stimulus” yang diberikan. Banyak dosen yang khilaf bersama berasumsi dirinya sebagai “dewa” yang memperlakukan mahasiswa/i cocok niat dirinya, mereka terjerat didalam kondisi power syndrome, sense of intellectual arrogance dan google syndrome (merasa paling memahami banyak hal). Semoga kami dijauhkan berasal dari sifat dosen dan pendidik yang arogan seperti ini. Punya banyak “haters” ketimbang “lovers” bakal kurangi persentase kebahagiaan didalam mengajar.

Jean Piaget mengungkapkan, “Tujuan utama pendidikan adalah menciptakan manusia yang dapat jalankan hal baru, tidak hanyalah ulangilah apa yang sudah dikerjakan generasi di awalnya . Manusia yang kreatif, punyai energi cipta, punyai kemauan keingintahuan.”

Pendidikan yang prima lahir berasal dari proses perubahan yang diselami bersama pendekatan “Intellectual Humility“. Mahasiswa/i yang ada dihadapan dosen sudah sepantasnya diperlakukan sebagai “subjek” perubahan, bukan “objek perubahan”. Dengan memahami sudut pandang ini maka proses transfer ilmu mesti dikerjakan bersama cara, type dan energi yang memanusiakan mahasiswa/inya. Salah satu contoh yang paling simpel adalah bersama pemakaian bahasa penyampaian bahan ajar yang enteng dimengerti. Pemberian contoh bahan ajar yang dekat bersama dunia mereka dan dan juga kondisi masa kini. Banyak dosen yang lupa bahwa mahasiswa/i datang kedalam kelas bersama tingkat kematangan (ilmu, emosi, ilmu dan kemampuan) yang berbeda. Pendekatan “grassroot” mesti dikedepankan supaya bahan ajar yang diberikan enteng dipahami dan berfaedah bagi kedua belah pihak.

Dosen yang baik, mesti sehat jasmani (fisik) dan rohani (mental). Salah satu ujian terberat sebagai dosen ialah “Classroom Management“, ini erat sekali bersama kecerdasan emosi (EQ) seorang dosen. Pintar, cerdas, dan punyai latar belakang edukasi yang mumpuni tidak cukup membantu kami menjadi “dosen sukses” didalam kelas. Perlu ada kekuatan spesifik didalam hal penguasaan dan juga pengelolaan emosi didalam menguasai mahasiswa/i sebagai penghuni kelas. Terpancing emosi dan mengumbar kemarahan didalam kelas bakal menjadi “boomerang” tersendiri bagi dosen. Versi dosen teladan menurut saya adalah dikala ada dosen yang dapat berdamai bersama hati dan dirinya supaya tidak sirna termakan sifat egoisme diri.

Mahasiswa/i adalah pengamat (observer) terbaik didalam kelas, just make sure we can gain their heart & attention with an elegant way. Dosen mesti mahir untuk menciptakan kondisi yang terbuka, santai namun senantiasa tegas dan serius. Seperti seperti seorang “Conductor” yang memimpin suatu pertunjukan. Our class is our own stage & it’s belong to us as a lecturer… to share, to educate, to entertain plus to inspire, our best results shown by the students with their “standing applause”…

Ini yang mesti disadari oleh para kaum muda (millenial generation) yang berkeinginan dan terasa tertarik menjadi seorang dosen atau pendidik diusia muda. Saya sendiri mengawali profesi ini diusia yang relatif muda, 23 tahun. Sejak th. 2010 lalu, saya menyimak perubahan tren millenial didalam penentuan profesi yang bakal disita pasca kelulusan mereka. Profesi dosen terasa dilirik mereka sebagai ladang kontribusi dan pemenuhan aktualisasi diri ditahap awal pembentukan jati diri sebagai individu didalam menuju pendewasaan. Sebagian berasal dari mereka, yang terhitung merupakan generasi intelektual, terasa mereka bakal semakin pandai dikala mendapat peluang untuk sering sharing kepada sesama.Kesempatan mengajar dapat menjadi keliru satu momentum bagi generasi milenial untuk dapat sharing tanpa batas. Oleh maka dari itu profesi dosen diakui sebagai alternatif pilihan pekerjaan yang menarik, dibandingkan pekerjaan yang lain.

Saat ini sudah banyak dijumpai dosen umur yang relatif muda. Bisa kami menyimak bersama pas ini banyak dosen baru berusia muda di bawah 30 th. yang mengisi ruang kuliah atau laboratorium di beraneka universitas negeri atau swasta di bumi nusantara ini. Fenomena ini datang gara-gara berbanding lurus bersama ada proses pendidikan dan pesatnya kemajuan teknologi. Dua hal ini terlalu mungkin pemuda/i berasal dari generasi millenial dapat menyelesaikan strata pendidikan tingginya didalam rentang pas yang relatif singkat. Ditambah bersama hadirnya ribuan peluang untuk meraih biaya kuliah gratis berasal dari beraneka lembaga penyedia beasiswa didalam ataupun luar negeri. Murid yang dipersenjatai bersama Info bakal senantiasa memenangkan pertempuran (Meladee McCarty)

Para dosen muda ini kebanyakan dikenal idealisme kuat bersama paket kompetensi yang lengkap, punyai rasa idamkan memahami yang besar dibidangnya dan bersemangat tinggi biarpun tetap minim pengalaman. Walaupun begitu tidak dapat dipandang sebelah mata, rekan saya Reza Zaki (26 tahun) sudah menjadi Kandidat Doktor Hukum Bisnis di Universitas Padjajaran – Bandung). Prestasi dan pengalamannya segudang diantaranya dulu menjadi Wakil Presiden Mahasiswa UGM , Founder dan Coordinator Komunitas Mahasiswa dan Siswa Anti Korupsi Indonesia (2012), Pemimpin Redaksi Garis Anti Korupsi Seluruh Indonesia (AKSI), Director World Trade Model Community UGM(2014), Ketua Rumah Imperium (2013-Sekarang), Kepala Departemen Kewirausahaan dan Ekonomi Ummat ICMI DKI Jakarta (2015), Delegasi Harvard World Model United Nations (HWMUN), Belanda, Swedia (2009), Co-Chairman 1st Indonesia Model World Trade Organization, 100 Young CEO’s Indonesia , 100 Mahasiswa Berprestasi UGM, 8 Komunitas Sosial Terbaik Indonesia Nutrifood & British Council (2014), Finalis Anugerah Pelopor Pemberdaya Masyarakat berasal dari Gubernur Jabar (2015), seorang dosen, penulis buku dan pengusaha. Ada ulang keliru satu contohnya Riana Sugihatmaja, kelahiran 8 November 1992 asal Yogyakarta terhitung sudah dipercaya menjadi dosen bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan Yogya.

Prof. Rhenald Kasali didalam artikel Kompas, 15 September 2014 bertajuk (Naiknya “Harga” Dosen), mengupas bahwa dimasa yang bakal mampir tidak seluruh orang dapat menjadi dosen senantiasa disuatu perguruan tinggi. “Peta pasar” tenaga akademik memasuki babak awal perubahan, menurut Prof. Rhenald Kasali bakal terjadi kemungkinan ada market shrinking, “Populasi pasar tenaga akademis yang dapat menjadi dosen senantiasa bakal lebih tersaring, lebih selektif, mengerucut. Dosen senantiasa bakal menjadi rebutan, “harganya” bakal naik, kualifikasi mesti ditingkatkan.

Berdasarkan Permendikbud No 84/2013, dikeluarkan Mendikbud 12 Juli 2013, ini turunan berasal dari UU No 12/2012 mengenai Pendidikan Tinggi dan konsep penataan Perguruan Tinggi yang memberi value yang lebih baik bagi para dosen.

Menurut ketentuan ini, untuk mengurus NIDN,selain mesti membawa kekuatan akademik (TKDA, Tes Kemampuan Dosen Akademik) dan bahan Inggris (TOEFL sekurang-kurangnya 510, PBT), seseorang tak dapat ulang melakukannya bila sudah melalui umur 50 th. (kecuali membawa kualifikasi/kompetensi khusus). Oleh gara-gara itu karir dan profesi dosen mesti disita sedari muda gara-gara berjenjang, jangan menunggu bergelar Doktor atau menjelang pensiun dulu baru melamar menjadi dosen.Sama seperti profesi lainnya, menjadi dosen dihadapkan terhadap dua pilihan. Menjadi dosen senantiasa (full time lecturer) atau dosen paruh pas (part time). Keduanya punyai konsekuensi dan kegunaan yang berbeda. Dengan menjadi dosen part time, kami dapat mengerjakan hal lain tidak cuman mengajar, bila berbisnis atau mengajar dibeberapa institusi yang berbeda. Beda halnya bersama dosen part time, menjadi dosen full time ada jenjang karir multi tugas yang mesti dilewati.

Satu hal yang mesti kami ingat ulang bahwa menjadi dosen senantiasa atau paruh pas di Indonesia tidak diperlukan tahapan yang ketat, sistemik dan ribet. Beda hal seperti diberbagai negara di Eropa atau Jepang misalnya. Untuk menjadi dosen mesti menuntaskan beberapa persyaratan prosedural seperti mesti ada postingan dan disertasi yang dibukukan baru seseorang dapat diangkat sebagai dosen tetap. Belum ulang iklim kompetisi (kompetisi) yang ketat gara-gara “track record” berupa portfolio seperti publikasi ilmiah dan beberapa persyaratan akademik lain benar-benar memilih seseorang dapat menjadi dosen atau tidak.

Sementara untuk menjadi dosen di Indonesia, persyaratannya tidak seketat itu dan cenderung lebih mudah. Dengan mengantungi ijazah Master (S2), dibidang spesifik disertai pengalaman kerja 1-2 tahun, seseorang bersama kompetensi tersebut dapat melamar sebagai dosen diberbagai lembaga perguruan tinggi negeri atau swasta.

Bagaimana bersama jenjang karir seorang dosen muda? Menurut saya, tiap tiap dosen punyai starting point yang tidak sama didalam mengawali karir dosennya. Ditingkat awal dikala seseorang baru terasa mengajar dia bakal mendapat label (Tenaga Pengajar), setelah melalui 1 th. dikala dinilai punyai performa yang prima maka dia bakal punyai label (Asisten Ahli).

Setelah itu dikala dia dapat untuk produktif didalam meniti kewajiban tri dharma perguruan tinggi (rutin penelitian dan pengabdian sekurang-kurangnya 1 th. sekali) bersama baik dan penuh komitmen, sesudah itu dapat mendapag label (Lektor), selanjutnya (Lektor Kepala), hingga selanjutnya capai jenjang kepangkatan tertinggi didalam dunia akademik yaitu menjadi (Guru Besar) setelah pointnya mencukupi persyaratan kepangkatan yang sudah ditentukan.

Leave a Reply